PENALARAN DEDUKTIF
BAHASA INDONESIA
NAMA : RAYNA DALINTA
NPM : 11208394
KELAS : 3EA14
UNIVERSITAS GUNADARMA
2011
Penalaran Deduktif
Penalaran deduksi/deduktif didasarkan pada penarikan kesimpulan yang bertolak dari hal yang umum. Dalam karangan penerapan penalaran deduktif ini tampak pada pernyataan umum yang dituangkan dalam kalimat utama yang kemudian menuju pada beberapa kalimat penjelas.
contoh misalnya kita amati pernyataan-pernyataan berikut ini.
I. Semua manusia akan mati.
II. Peserta latihan penelitian ini adalah manusia.
III. Peserta penelitian ini akan mati.
Pernyataan I kita kenal sebagai premis mayor, pernyataan II adalah premis minor dan pernyataan III adalah kesimpulan. Kesimpulan yang ditarik akan bernilai benar jika kedua pernyataan di atasnya benar, demikian pula sebaliknya.
Banyak sekali kegiatan manusia yang menggunakan penalaran deduktif, sebagai contoh misalnya dokter dalam mendiagnosis penyakit pasiennya, detektif yang menyelidiki masalah kriminal, atau egiatan lainnya, tapi yang harus dicamkan adalah bahwa penggunaan yang banyak bukan jaminan bahwa penelaran deduktif ini dapat dipergunakan tanpa kelemahan-kelemahan. Antara lain misalnya jika salah satu atau kedua premisnya salah maka kesimpulan yang ditarik berdasarkan premis-premis itu akan salah. Kelemahan lainnya adalah bahwa kesimpulan yang ditarik berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis-premisnya, sehingga sulit diharapkan kemajuan ilmupenegetahuan jika hanya mengandalkan logika ini. Selain itu manakala argumen deduktif akan diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi dari premis-premisnya, jadi salah benar premisnya tak dapat diuji.
Dalam suatu penalaran deduksi kesimpulan dapat ditarik dengan cara:
1. menarik kesimpulan dari satu premis
Contoh:
Premis : Hari Jumat, tanggal 10 September 2010 merupakan hari libur nasional.
Kesimpulan: Hari itu sekolah libur.
2. menarik kesimpulan dari dua premis
Contoh:
Premis 1 : Pegawai Negeri adalah anggota Korpri.
Premis 2 : Anggota Korpri memiliki seragam khusus.
Kesimpulan: Pegawai Negeri pasti mempunyai seragam khusus.
Konklusi atau kesimpulan yang kita utarakan harus dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penarikan kesimpulan penalaran deduksi, yaitu:
1. premis harus benar
2. penalaran yang menuju kesimpulan harus benar.
SILOGISME
Penalaran deduksi yang biasa digunakan ialah silogisme. Silogisme disebut juga penalaran deduksi secara tidak langsung. Dalam silogisme kita dapati dua premis dan satu premis kesimpulan. Kedua premis itu adalah premis umum/premis mayor dan premis khusus/premis minor. Dari kedua premis tersebut kesimpulan dirumuskan.
Premis umum (=PU) : menyatakan bahwa semua anggota golongan tertentu (=semua A) memiliki sifat atau hal tertentu (=B).
Premis khusus (=PK) : menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang (=C) adalah anggota golongan tertentu itu (=A).
Kesimpulan (=K) : menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang (=C) memiliki sifat atau hal tersebut pada B (=B)
Jika ketentuan-ketentuan di atas kita rumuskan, rumus itu akan berbunyi sebagai berikut:
PU : semua A = B
PK : C = A
K : C = B
Contoh 1:
PU : Semua jenis parasit merugikan inangnya.
PK : Benalu tergolong parasit.
K : Benalu tentu merugikan inangnya.
Contoh 2:
PU : Binatang menyusui melahirkan anak dan tidak bertelur.
PK : Ikan paus binatang menyusui.
K : Ikan paus melahirkan anak dan tidak bertelur.
Silogisme Negatif
Silogisme negatif adalah silogisme yang salah satu premisnya bersifat negatif. Silogisme jenis ini biasanya di salah satu premisnya ditandai dengan kata-kata ingkar, yaitu tidak atau bukan.
Contoh
PU : Semua penderita diabetes tidak boleh banyak makan tepung-tepungan.
PK : Paman penderita doabetes.
K : Paman tidak boleh banyak makan tepung-tepungan.
Silogisme Standar
Silogisme kategoris standar = proses logis yang terdiri dari tiga proposisi kategoris.
Proposisi 1 dan 2 adalah premis
Proposisi 3 adalah konklusi
Contoh:
“Semua pahlawan adalah orang berjasa
Kartini adalah pahlawan
Jadi: Kartini adalah orang berjasa”.
Kesimpulan hanya dicapai dengan bantuan proposisi dua
Jumlah term-nya ada tiga, yakni: pahlawan, orang berjasa dan Kartini.
Masing-masing term digunakan dua kali.
Sebagai S, “Kartini” digunakan 2 kali (sekali di premis dan sekali di konklusi)
Sebagai P, “orang berjasa” digunakan 2 kali (sekali di premis dan sekali di konklusi)
Term “pahlawan”, terdapat 2 kali di premis, tapi tidak terdapat di konklusi.
Term ini disebut term tengah (M, singkatan dari terminus medius). Dengan bantuan term tengah inilah konklusi ditemukan (sedangkan term tengah sendiri hilang dalam konklusi).
Term predikat dalam kesimpulan disebut term mayor, maka premis yang mengandung term mayor disebut premis mayor (proposisi universal), yang diletakkan sebagai premis pertama.
Term subyek dalam kesimpulan disebut term minor, maka premis yang mengandung term minor disebut premis minor (proposisi partikular), yang diletakkan sebagai premis kedua.
Term mayor akan menjadi term predikat dalam kesimpulan; sedangkan term minor akan menjadi term subyek dalam kesimpulan
Dengan demikian, kesimpulan dalam sebuah silogisme adalah atau “S = P” atau “S ¹ P”. Kesimpulan itu merupakan hasil perbandingan premis mayor(yang mengandung P) dengan premis minor (yang mengandung S) dengan perantaraan term menengah (M).
Karena M = P; sedang S = M; maka S = P
Premis mayor M = P M = term antara
Premis minor S = M P = term mayor
Kesimpulan S = P S = term minor
Hukum-hukum Silogisme
a. Prinsip-prinsip Silogisme kategoris mengenai term:
1. Jumlah term tidak boleh kurang atau lebih dari tiga
2. Term menengah tidak boleh terdapat dalam kesimpulan
3. Term subyek dan term predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis.
4. Luas term menengah sekurang-kurangnya satu kali universal.
b. Prinsip-prinsip silogisme kategoris mengenai proposisi.
1. Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan harus afirmatif juga.
2. Kedua premis tidak boleh sama-sama negatif.
3. Jika salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga (mengikuti proposisi yang paling lemah)
4. Salah satu premis harus universal, tidak boleh keduanya pertikular.
Bentuk Silogisme Menyimpang
Dalam praktek penalaran tidak semua silogisme menggunakan bentuk standar, bahkan lebih banyak menggunakan bentuk yang menyimpang. Bentuk penyimpangan ini ada bermacam-macam. Dalam logika, bentuk-bentuk menyimpang itu harus dikembalikan dalam bentuk standar.
Contoh:
“Mereka yang akan dipecat semuanya adalah orang yang bekerja tidak disiplin. Kamu kan bekerja penuh disiplin. Tak usah takut akan dipecat”.
Bentuk standar:
“Semua orang yang bekerja disiplin bukanlah orang yang akan dipecat.
Kamu adalah orang yang bekerja disiplin.
Kamu bukanlah orang yang akan dipecat”.
2. Silogisme kategorial
1. 2. Silogisme Kategoris
1. a. Silogisme kategoris standar
Silogisme kategoris adalah proses logis yang terdiri dari tiga proposisi kategoris. Bila rangkaian tiga proposisi yang membentuk silogisme itu berupa proposisi kategoris standar maka silogisme yang demikian adalah silogisme kategoris standar.
Secara khusus silogisme kategoris standar dapat dirumuskan sebagai suatu penalaran deduktif yang mengandung suatu rangkaian proposisi yang terdiri dari tiga (dan hanya tiga) proposisi kategoris, dan disusun sedemikian rupa sehingga ada tiga term yang muncul dalam rangkaian proposisi itu. Tiap-tiap term hanya boleh muncul dalam dua proposisi. Berikut ini adalah contoh penalaran deduktif yang merupakan silogisme kategoris:
Setiap buruh adalah manusia pekerja.
Setiap kali bangunan adalah buruh.
Jadi, setiap kali bangunan adalah manusia pekerja.
Contoh di atas sekaligus merupakan silogisme kategoris standar karena rangkaian tiga proposisi yang membentuk silogisme tersebut adalah proposisi kategoris standar. Dua proposisi kategoris standar yang pertama berfungsi sebagai premis, sedang proposisi kategoris standar yang ketiga berfungsi sebagai kesimpulan. Jumlah termnya ada tiga: “buruh”, “manusia pekerja”, dan “kuli bangunan”, masing-masing digunakan dua kali. Term yang tidak muncul dalam kesimpulan (dalam contoh di atas adalah “buruh”) disebut term menengah (M, singkatan dari terminus medius), karena berkat perantaraan term inilah kedua premis dapat dihubungkan sehingga menghasilkan kesimpulan. Karena M adalah P, sedangkan S adalah M, maka S adalah P:
M – P
S – M
S – P
Term predikat dalam kesimpulan disebut term mayor; biasanya disingkat dengan “P/T”. Karena itu premis yang mengandung term mayor tersebut disebut premis mayor, yang diletakkan sebagai premis yang pertama. Sedangkan term subyek dalam kesimpulan disebut term minor; biasanya disingkat dengan “S/t”. Karena premis yang mengandung term minor disebut premis minor, yang diletakkan sebagai premis yang kedua. Term mayor (P) akan menjadi term predikat dalam kesimpulan. Sedangkan term minor (S) akan menjadi term subyek dalam kesimpulan. Dengan demikian kesimpulan dalam sebuah silogisme adalah atau “S = P” atau “S # P”. kesimpulan itu merupakan hasil perbandingan premis mayor (yang mengandung “P”) dengan premis minor (yang mengandung “S”) dengan perantaraan term Menengah (“M).
1. b. Silogisme kategoris yang menyimpang
Dalam praktek sehari-hari tidak semua silogisme kategoris diungkapkan dalam bentuk yang standar; terlihat bahwa bentuk silogisme kategoris ini lebih banyak yang menyimpang. Dalam logika, bentuk-bentuk silogisme yang menyimpang itu – demi memudahkan pengujian sahih atau tidak sahihnya – perlu dikembalikan kepada bentuk yang standar, sekurang-kurangnya apabila penalaran menjadi tidak jelas. Pada kenyataannya penyimpangan itu tidak terbatas caranya, karena memang tidak ada sesuatu yang dapat memaksa orang untuk bernalar dalam bentuk silogisme kategoris standar. Di bawah ini diperlihatkan beberapa sebab yang memungkinkan terjadinya penyimpangan itu.
(a) proposisi yang digunakan dalam mengungkapkan suatu penalaran silogistis bukanlah proposisi kategoris standar. Misalnya proposisi yang tidak mengikuti pola susunan S = P / S # P, atau term predikat dari salah satu atau lebih proposisi dalam silogisme itu adalah kata sifat atau kata kerja. Dengan demikian untuk memudahkan kita menguji sahih atau tidak sahihnya penalaran tersebut, berguna sekali apabila kita kembalikan silogisme-silogisme menyimpang itu kepada silogisme kategoris standar. Perhatikanlah contoh berikut ini:
Mereka yang akan dipecat semuanya adalah orang uang bekerja tidak disiplin. Kamu ‘kan bekerja penuh disiplin. Tak usah takut akan dipecat.
Penalaran tersebut dapat kita kembalikan menjadi silogisme kategoris standar sebagai berikut:
Semua orang yang bekerja disiplin bukanlah orang yang akan dipecat.
Kamu adalah orang yang bekerja disiplin.
Kamu adalah orang yang akan dipecat.
(b) term yang sama dilambangkan dengan kata-kata yang berbeda (kerap disertai pula dengan penggunaan proposisi kategoris yang bukan standar), sehingga penalarannya kelihatan memiliki lebih dari tiga term. Contoh berikut ini menunjukkan penyimpangan berikut:
Setiap prajurit selalu bertugas berpindah-pindah.
Suroto itu anggota Angkatan Bersenjata.
Maka ia tidak bertugas di satu tempat saja.
Kiranya jelas bahwa Suroto dalam premis minor di atas identik dengan ia dalam kesimpulan. Tetapi, selain itu, sesungguhnya prajurit pun identik dengan angota Angkatan Bersenjata, serta selalu bertugas berpindah-pindah identik dengan tidak bertugas di satu tempat saja. Dengan demikian apabila dalam silogisme kategoris di atas hanya digunakan salah satu ungkapan saja diantara yang identik dan kemudian proposisi-proposisi yang ada dikembalikan menjadi proposisi kategoris standar, maka kita akan menemukan silogisme kategoris standar sebagai berikut;
Setiap parajurit adalah orang yang selalu bertugas berpindah-pindah.
Suroto adalah prajurit.
Jadi, Suroto adalah orang yang selalu bertugas berpindah-pindah.
(c) Salah satu atau lebih proposisi dalam silogisme kategoris itu tidak dinyatakan secara ekspisit. Bentuk silogisme kategoris seperti ini biasa disebut dengan entimena.
Untuk melengkapi entimena sehingga menjadi silogisme kategoris standar, haruslah diingat bahwa:
(1) premis di dalam penalaran adalah alasan atau sebab dari kesimpulan (umumnya menggunakan kata-kata seperti : karena, sebab, dengan alasan, berdasarkan dan sebagainya).
(2) Kesimpulan adalah akibat atau berpijak pada manusia pada premis (umumnya menggunakan kata-kata seperti: jadi, oleh karena itu, maka, maka dari itu, dengan alasan itu, berdasarkan itu, dan sebagainya);
(3) Term subyek dalam kesimpulan adalah term minor (premis yang mengandung term minor adalah premis minor), sedangkan term predikat dalam kesimpulan adalah term minor (premis yang mengandung term mayor adalah premis mayor);
(4) Term yang bukan term mayor dan bukan term minor adalah term tengah, yang hanya terdapat dalam premis dan tidak muncul dalam kesimpulan.
Karena silogisme itu terdiri dari tiga proposisi premis mayor, premis minor, dan kesimpulan), maka bentuk-bentuk entimena itu ialah :
(a) Entimena tanpa premis mayor.
(b) Entimena tanpa premis minor
(c) Entimena tanpa kesimpulan
(d) Entimena dengan hanya kesimpulan atau hanya premis mayor atau hanya premis minor.
Contoh entimena tanpa premis mayor adalah : “Jelas saja dia pandai. Di kan anaka dokter terkenal!” Kesimpulan penalaran di atas apabila dirumuskan dengan proposisi kategoris standar ialah “Dia adalah orang pandai”. Adapun alasannya ialah “Dia adalah anak dokter terkenal” (lihat kata “kan” yang menunjuk pada alasan). Karena term subyek dalam kesimpulan adalah “dia” dan term predikat dalam kesimpulan adalah “orang pandai”, maka term tengahnya (term yang tidak muncul dalam kesimpulan) adalah “anak dokter terkenal”. Dengan demikian apabila kita melengkapi penalaran di atas dengan premis mayornya dan kemudian distandarisasikan, silogisme kategorisnya menjadi:
Anak dokter terkenal adalah orang pandai.
Dia adalah anak dokter terkenal.
Jadi, dia adalah orang pandai.
Silogisme kategoris di atas dapat juga dinyatakan sebagai entimena tanpa premis minor. Kalau begitu penalarannya adalah: “Jelas saja dia pandai. Anak dokter terkenal kan pandai!” Demikian pula, silogisme kategoris yang sama dapat juga dinyatakan sebagai entimena tanpa kesimpulan. Kalau begitu penalarannya adalah :”Dia kan anak dokter terkenal dan anak dokter terkenal itu pandai!” Dalam penalaran ini, orang yang saling berkomunikasi sudah sama-sama tahu kesimpulannya. Bahkan dengan mengingat pada konteks pembicaraan, biasanya sudah cukup apabila hanya dinyatakan kesimpulan atau premis mayor atau premis minornya saja secara eksplisit; misalnya : “Jelas saja dia pandai” atau “Anak dokter terkenal kan pandai!” atau “Dia kan anak dokter terkenal!”
penulisan bebas
ENTIMEM
Penggunaan silogisme dalam kehidupan sehari-hari atau karang-mengarang terasa sangat kaku. Oleh karena itu, silogisme dapat diperpendek dengan tidak menyebutkan premis umumnya. Kita dapat langsung mengetengahkan kesimpulan, dengan premis khusus sebagai penyebabnya. Bentuk silogisme yang demikian disebut entimem.
Entimem merupakan penalaran deduksi secara langsung.
Entimem dapat dirumuskan: C = B, karena C = A.
Contoh 1:
Silogisme:
PU : Pegawai yang baik tidak mau menerima suap.
PK : Budiman pegawai yang baik.
K : Budiman tidak mau menerima suap.
Entimem:
Budiman tidak mau menerima uang suap, karena ia pegawai yang baik.
Contoh 2:
Silogisme:
PU : Orang yang ingin sukses hidupnya harus bekerja keras.
PK : Diah orang yang ingin sukses hidupnya.
K : Diah harus bekerja keras.
Entimem:
Diah harus bekerja keras, karena ia ingin sukses hidupnya
Penalaran ini dirintis oleh Prancis Bacon yang tidak puas dengan penalaran deduktif, dan tidak habis pikir mengapa misalnya masalah jumlah gigi kuda saja harus berdebat habis-habisan dengan menggunakan logika deduktif, bukankah pemecahannya sangat mudah? buka saja mulut-mulut kuda lalu dihitung jumlah giginya. (Best,1982: 15)
Bacon merasa bahwa jika kita terus berpijak pada penalaran deduktif semata maka dia akan berputar dari itu ke itu juga sulit untuk maju, namun kitapun harus sadar bahwa induktifnya Bacon bukan tanpa cela, antara lain karena keterbatasan dan ketidaksempurnaan indera; selain itu jika observasi inderawi dilakukan secara acak tanpa berpijak pada kesatuan konsep atau fokus maka kita seolah berjalan dalan kegelapan; pengalaman inderawi merupakan sesuatu yang bersifat tidak pasti sebab suatu fakta tidak memberikan makna untuk dirinya danb tidak menunjukkan hubungan antar mereka tanpa masuknya subjektivitas pengamatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar